“Udayana Charity Night” Pagelaran Amal untuk Pendidikan

IMG_20170523_195423_HDR

Juli dan Sukri, siswa SDN 5 Pempatan yang akan menerima bantuan dari hasil Udayana Charity Night 2017 (HAR7)

        Denpasar- Kepedulian untuk dunia pendidikan ditunjukan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa Universitas Udayana melalui acara Udayana Charity Night 2017 pada tanggal 23 dan 24 Mei 2017. Acara yang berlangsung selama dua hari ini diadakan di Denpasar MUM Food Market.

         “Malam amal ini bertemakan Share Our Love in The Nightfull of Gift, bertujuan untuk membantu perkembangan pendidikan anak-anak di Dusun Pemuteran, Desa Pempatan, Kabupaten Karangasem,” jelas Angga Suryawan selaku ketua panitia Udayana Charity Night 2017

           Para pengunjung dapat berdonasi dengan membeli tiket sejumlah Rp40.000 dengan sudah mendapatkan makan malam dan acara hiburan dari teman-teman pengisi acara seperti Leeyonk Sinatra, Dewa Sugama, Anggis Devaki dan band-band lokal lainnya. Angga juga menjelaskan bahwa hasil dari acara ini akan disumbangkan kepada anak-anak yang akan melanjutkan pendidikannya ke SMP, khususnya kepada 5 anak yang diundang dalam talkshow diacara ini, anak-anak tersebut adalah July, Mei, Mita, Sukriani, dan Edi yang merupakan siswa kelas 6 SDN 5 Pempatan yang akan melanjutkan sekolah ke jenjang sekolah menengah.

               Besar harapan Angga dalam acara yang telah dipersiapkan selama kurang lebih satu setengah bulan oleh teman-teman panitia termasuk teman-teman relawan Udayana Mengajar semoga dapat bermanfaat tidak hanya untuk adik-adik di Dusun Pemuteran saja, namun untuk semua pihak yang terlibat di acara ini, dan semoga dari acara ini adik-adik di Desa Pemuteran bisa melanjutkan pendidikan mereka dan bisa meraih cita-cita mereka. (HAR7)

Komunitas Ketimbang Ngemis Bali Memberi dan Memotivasi

         

1495335567390

Komunitas Ketimbang Ngemis Bali saat Blusukan.  (AAD7)

         Denpasar –  Saat ini perkembangan teknologi sangatlah pesat sehingga berita apapun dapat kita akses secara instan. Hal ini pula yang dimanfaatkan Komunitas Ketimbang Ngemis Bali untuk membangun rasa peduli terhadap sesama. Bagaimana tidak, komunitas yang terbilang masih sangat muda yang berdiri di bali pada tanggal 18 Juni 2015 ini menggunakan sarana media sosial Instagram untuk membantu para lansia yang masih berjuang untuk hidupnya.

        Kiki Esa Hertian selaku ketua Komunitas Ketimbang Ngemis Bali mengatakan bahwa hal yang membedakan Komunitas Ketimbang Ngemis Bali ini berbeda dengan komunitas lainnya adalah komunitas ini dibentuk untuk membantu para lansia yang berjuang demi hidupnya dengan cara bekerja dibandingkan dengan cara mengemis, seperti yang biasa terlihat di kota Denpasar khususnya masih sangat banyak lansia yang masih mengemis di setiap persimpangan atau lampu merah.

           “Kalau menurut aku pribadi, yang membedakan komunitas ketimbang ngemis bali ini dari komunitas lainnya adalah prinsip komunitas ketimbang bali yang sangat di pegang sampai sekarang, prinsip kami adalah terus berusaha membantu para lansia agar di sisa hidupnya beliau dapat hidup dengan layak,” ungkap Kiki.

     Sebenarnya di indonesia sendiri sudah tersebar Komunitas Ketimbang Ngemis, namun untuk di setiap kota terdapat masing-masing Komunitas Keimbang Ngemis Regionalnya jadi untuk Komunitas Ketimbang Ngemis Bali masih sangat muda tetapi sudah sangat membantu masyarakat bali terutama bagi para lansia.

      Dalam kegiatan Komunitas Ketimbang Ngemis Bali selama ini belum mendapatkan campur tangan dari pemerintah kota, sehingga dana dan bantuan yang terkumpul dari para donatur yang sukarela memberikan dana berupa uang tunai maupun pakaian yang masih layak untuk di pergunakan. Penyaluran sumbangannya pun dapat dilakukan dengan mudah dengan cara membawa barang yang masih layak dipergunakan ke sekretariatan yang berlokasi di dekat pasar Sanglah, sehingga hal itupun mempemudah para donatur atau para sukarelawan untuk memberikan sumbangan.

     “Oh iya, kalau mau masuk KNB ini juga mudah mudah kok gak ribet kayak komunitas lain, Cuma tinggal kontak personal ke salah satu pengurus ketimbang ngemis bali terus diminta kesediaan waktu dan komitmen keseriusannya jika sudah menjadi anggota dari KNB sendiri supaya tidak asal masuk saja, menjadi anggota sangatlah mudah tetapi keseriusannya yang kami lihat disini,” lanjut Kiki.

        Salah satu contoh dari kegiatan yang sudah dilakukan oleh Komunitas Ketimbang Ngemis Bali ini adalah saat menolong nenek Supinah yang sangat viral di sosial media beberapa waktu lalu dikarenakan kecelakaan tabrak lari yang terjadi. Nenek Supinah dibantu mulai dari perawatan dirumah sakit sampai obat-obatan sangat ditanggung sampai nenek Supinah benar-benar sembuh dan dapat beraktivitas secara normal kembali. Bukan hanya itu selama ini kehidupan nenek Supinah yang kurang layak juga dibantu dengan cara mencarikan seorang pengasuh yang bertanggung jawab penuh atas kesehatan beliau dan juga membantu kebutuhan sandang dan pangan beliau sehingga beliau bisa hidup lebih layak.

      Respon yang di dapat dari kegiatan ini sangatlah positif, mulai dari pujian atau komentar yang terdapat di akun resmi instagram @Ketimbang.ngemis.bali, maupun respon secara langsung melalui sumbangan yang terus mengalir dari para sukarelawan untuk membantu komunitas ini dalam menjalankan tugas membantu para lansia di Bali, tentunya para lansia yang bekerja di usianya yang sudah seharusnya istirahat, bukannya yang mengemis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang belum tentu benar adanya karena sangat banyak pengemis yang tersebar saat ini adalah pengemis yang memiliki kelompoknya sendiri.

          Harapan yang diinginkan dari terbentuknya KNB ini adalah agar masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan dan juga kesejahteraan dalam keluarga agar tidak terjadinya banyak penelantaran lansia sehingga beliau-beliau hidup tak layak dan juga mempersiapkan kehidupan selanjutnya agar dapat hidup dengan layak tanpa mengemis. (AAD7)

Subaya, Permata yang Terendam Dalam Lumpur

subaya 1

(24/04/17) Ucapan selamat datang memasuki Desa Subaya. (Mey6)

     Hawa dingin menyambut kedatangan saya di daerah Kintamani, Bangli setelah dua jam perjalanan dari Denpasar. Saya akan pergi ke daerah Subaya, Bangli untuk menengok adik-adik yang saya ajar tahun lalu dalam gerakan Udayana Mengajar. Desa Subaya merupakan desa binaan BEM PM Universitas Udayana selama dua tahun dari tahun 2015 dan berakhir di awal tahun 2017.

     Perjalanan ke Desa Subaya dilanjutkan dengan setengah jam perjalanan menuju utara Kintamani. Melewati hutan pinus dan segarnya udara Kintamani sehingga rasa lelah selama perjalanan hilang.

     Perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Menuruni bukit. Jalan menuju Desa Subaya merupakan jalan kecil yang hanya bisa dilewati satu mobil saja. Ketika ada mobil yang berpapasan, maka salah satu mobil harus mengalah. Kiri kanan jalan tersebut adalah jurang dengan turunan yang esktrem dan rusak.

      Saya bisa melihat pemandangan Pantai Utara Bali dari jalan yang saya lalui. Kali ini saya sedang beruntung karena cuaca tidak terlalu berkabut karena ketika cuaca berkabut, nyali akan dibuat ciut. Jika terjadi kesalahan sedikit saja, ajal akan menjemput.

     Selama ini, keberadaan Desa Subaya terkesan sangat terisolir. Letak desa tersebut berada sangat jauh dari pusat perekonomian dan pendidikan Bangli. Untuk menuju Kota Bangli saja, warga Desa Subaya harus menempuh jarak sekitar 35 kilometer yang harus ditempuh dengan satu setengah jam. Belum lagi, infrastruktur jalan menuju desa tersebut banyak tidak memadai dan rusak.

subaya 2

(24/04/17) Infrastruktur jalan menuju desa yang tidak memadai dan rusak. (Mey6)

    Namun dengan semua perjuangan untuk sampai di desa ini, Subaya memiliki pemandangan yang sangat memikat. Yang masih perawan dan belum tersentuh modernisasi. Hijau membentang dari ujung ke ujung. Kunang-kunang masih lestari dan mudah dijumpai ketika malam.

       Subaya juga memiliki Bukit Menda dengan pemandangan dari ketinggian yang luar biasa. “Rencananya bukit Mendee akan dijadikan tempat wisata. Kami masih berusaha membangun infrastruktur yang mendukung” ucap Sekretaris desa Subaya. Memiliki air terjun setinggi 40 meter yang masih alami dan areal perhutanan dan pertanian yang sangat luas.

       Setelah naik turun lembah selama kurang lebih dua puluh lima menit, saya sampai di Desa Subaya. Saya menuju sekolah dasar satu-satunya yang ada di desa tersebut, SD N 1 Subaya. Saya disambut oleh senyuman adik-adik yang ramah dan penuh energi.

subaya 3

(24/04/17) Anak-anak di desa Subaya yang sedang bermain di halaman sekolah. (Mey6)

      SD N 1 Subaya berada di ujung jalan utama desa tersebut. Dari ujung jalan tersebut tidak ada lagi jalan untuk mobil, hanya jalan setapak dan jalan untuk motor kecil yang tersedia untuk menuju desa terpencil lainnya. SD N 1 Subaya cukup layak untuk desa yang termasuk kecil, kelas masih layak pakai dan atap masih aman dari air hujan.

      Jumlah murid yang ada sekitar seratus lima puluh enam orang siswa dari kelas satu sampai kelas enam. Mirisnya guru yang dimiliki hanya lima orang saja yang notabene tidak semuanya PNS dan bersifat pengabdian saja. Kepala sekolah SD tersebut pun harus merangkap menjadi guru. Tercatat mulai tahun 2016 lalu sudah dibangun SMP dan tahun ini baru angkatan pertama.

    Perkembangan anak-anak disana tidak seperti anak-anak di kota pada umumnya. Masih jauh dari pengaruh gadget atau paparan televisi. Di desa ini, sepulang sekolah anak-anak akan membantu orangtua mereka bertani. Bahkan terkadang mereka lebih memilih membantu orangtua dibanding bersekolah. Mereka akan mandi di pancoran dan mencuci baju mereka sendiri. Anak-anak yang luar biasa mandiri.

    Di sekolah, ada beberapa anak yang terkadang masih menggunakan baju bebas, bukan baju sekolahnya. Terdapat juga anak-anak yang masih menggunakan alas kaki seadanya dan bukan sepatu. Banyak dari mereka yang bajunya terlihat lusuh karena mereka tidak menggunakan setrika untuk mengencangkan baju mereka. Mereka terkadang hanya menaruh bajunya di bawah kasur.

      Dengan keterbatasan seperti itu, mereka tetap tidak pantang menyerah untuk belajar dan melanjutan pendidikan. Semangat belajar mereka tidak pernah padam terbukti dengan dibuatnya SMP karena minat anak-anak yang tinggi untuk melanjutkan sekolah mereka ke jenjang sekolah menengah. Anak-anak Subaya adalah anak-anak yang tekun dan memiliki semangat belajar yang tinggi.

     Hal ini membuat mata hati saya terbuka lebar. Bali yang di anggap kaya ini, masih memiliki banyak anak-anak dengan kondisi seperti ini namun tetap punya semangat belajar yang tinggi. Mereka adalah teladan.

    Buat saya, anak-anak luar biasa ini sesungguhnya mutiara yang lama terendam di dalam lumpur. Sehingga jika diasah dengan benar dan difasilitasi dengan maksimal, mereka akan mengguncang dunia dengan bakatnya.

(Mey6)

Raih Juara 1 Pemuda Pelopor, Agung Rahma Putra Banggakan Masyarakat Bali

aa

Agung Rahma Putra memaparkan proses seleksi Lomba Pemuda Pelopor Tingkat Nasional. (Dew5)

          Badung – Bali memiliki beragam hasil karya seni budaya. Baik melalui tarian, musik, seni ukir, seni pahat, pakaian, hingga budaya ramah-tamahnya yang mendunia. Hal ini tidak terlepas dari peran masyarakat Bali itu sendiri, dalam mempertahankan budaya Bali yang Ajeg. Seperti yang dilakukan oleh seorang koreografer dan pendiri Yayasan Pancer Langit, Anak Agung Gede Agung Rahma Putra, S.Sn., M.Sn.

         Pria yang akrab disapa Gung Rahma (29) ini, memulai kecintaannya pada seni ketika duduk dibangku sekolah dasar. Hingga akhirnya semakin menekuni bidang seni dan telah meraih beberapa penghargaan. Oktober 2016 lalu, Agung Rahma Putra berhasil membanggakan masyarakat Bali melalui prestasi yang telah dicapainya sebagai Juara I Pemuda Pelopor Bidang Sosial, Budaya, Pariwisata dan Bela Negara Republik Indonesia.

        Proses yang terbilang rumit telah dilalui oleh Gung Rahma. Mulai dari seleksi Kabupaten di bulan April, berlanjut pada bulan Juli-Agustus di tingkat Provinsi, hingga berlabuh pada bulan September di tingkat Nasional. Agung Rahma Putra menuturkan proses seleksi di tingkat Nasional diisi dengan berbagai kegiatan seperti pembekalan, outbound, dan malam keakraban.

       Mengingat Point inti yang menjadi penilaian Lomba Pemuda Pelopor yakni, tindakan nyata yang telah dilakukan oleh peserta lomba, maka dengan penuh kesungguhan Gung Rahma mengangkat tema “Optimalisasi ‘Karang Awak’ (Potensi Diri) melalui Pelestarian Seni Tradisi dan Penciptaan Karya Tari Baru sebagai Upaya untuk Mempelopori Penguatan Jatidiri Bangsa serta Meningkatkan Kesejahteraan Seniman”. Baginya, terdapat 2 yakni sisi pelestarian dan sisi seni pengembangan, haruslah seimbang. Tidak hanya fanatik terhadap seni dan tradisi sendiri saja, namun juga harus diiringi dengan pengembangan. Karena saat ini, masyarakat Bali tentu dihadapkan pada fenomena globalisasi yang menuntut terciptanya seni – seni inovatif.

      Adanya keywords kreatif serta tradisi sudah tentu menjadi senjata bagi pria kelahiran, 26 April 1988 ini untuk maju menjadi pemuda pelopor. Munculnya ide kreativitas dalam bidang seni tari akhirnya membuat Agung Rahma Putra menonjolkan Yayasan Seni Pancer Langit yang telah didirikannya sejak tahun 2012. Yayasan Pancer Langit didirikan oleh Agung Rahma Putra sebagai wadah kreativitas anak muda dalam pelestarian dan pengembangan warisan budaya leluhur yang dijadikan sebuah bentuk tindakan nyata. Dilain sisi, beberapa karya Gung Rahma yang telah didaftarkan pada Direktorat Jendral Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia diantaranya, Hak Cipta atas Karya Tari Legu Gondong serta Hak Cipta atas Modul Teknik Kreatif Pengolahan Lem sebagai bahan dasar kostum tari dan karnaval.

          Kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan oleh Yayasan Pancer Langit dibawah binaan Agung Rahma Putra dilihat dari bidang Sosial, contohnya telah dilaksanakan Ngayah (Pengabdian masyarakat tanpa balas jasa) di Pura atau tempat suci yang ada di Bali, Jawa, Lombok dan Malaysia serta berpartisipasi aktif dalam kegiatan charity yang diselenggarakan oleh komunitas sosial atau organisasi kepemudaan, seperti kolaborasi bersama karang taruna ataupun sekaa teruna di banjar. Dalam bidang Budaya yakni Kolaborasi dan pembelajaran serta pertukaran budaya dengan kelompok budaya lokal, Nasional maupun Internasional. Di Bidang Pariwisata, ikut mendukung kegiatan promosi pariwisata daerah melalui event-event pariwisata yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah maupun Nasional bahkan Internasional, seperti event WACI, JFC, dan sebagainya. Tak luput dalam bidang bela negara, Yayasan Pancer Langit mendukung dan ikut mengambil bagian dalam upaya – upaya pelestarian warisan budaya sebagai identitas bangsa yang berbudaya dan bermartabat di kancah nasional maupun internasional melalui kreativitas seni.

        Gung Rahma berharap seni dan budaya di Bali tetap lestari disertai berkembangnya inovasi baru tanpa mengurangi serta merusak seni tradisi sendiri. Sehingga identitas yang kita miliki dapat dipertahankan.

     “Kalau ingin maju, paling tidak kita paham budaya dan harus berbekal keberanian, yakin, tulus, dan terakhir totalitas,” ungkap Agung Rahma Putra sembari menutup wawancara. (Dew5)

 

 

Dari Solo Ngesol, Semenjak Tahun 1986

         

solsepatu.jpg

Tak putus harapan, Pak Handoko setia menunggu pelanggan yang akan mengesol sepatu. (AJD5)

                Denpasar – Ditengah zaman modernisasi saat ini, semua dipermudah dengan adanya berbagai macam mesin dengan teknologi tinggi yang membantu segala pekerjaan manusia. Akan tetapi masih saja ada yang tidak bisa dilakukan oleh mesin teknologi tinggi tersebut. Contohnya saja pekerjaan ngesol sepatu

          Sampai saat ini jasa ngesol sepatu masih menjamur di Kota Denpasar seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk yang tengah mencari pekerjaan. Ngesol sepatu, menjadi salah satu mata pencaharian yang dapat dipilih. Tak hanya penduduk lokal, penduduk rantauan pun banyak yang menggeluti pekerjaan ini.

          Di pinggiran jalanan Kota Denpasar berdiri sebuah gubuk sederhana berdiameter satu kali satu meter, berisikan sepatu usang yang nyaris tak layak pakai dan perlengkapan -perlengkapan sol sepatu. Seorang bapak tua, terlihat bersiap memperbaiki sepatu yang telah usang agar dapat digunakan lagi.

          Panas terik matahari yang langsung menyinari kulit keriputnya tak membuatnya mundur dari pekerjaan ini, bahkan asap knalpot kendaraan yang mondar-mandir setiap menit pun sudah menjadi makanan sehari-harinya.

          Banyaknya kendaraan yang mondar-mandir tak menjadi jaminan semua yang lewat akan berbagi rejeki mengesol sepatunya di Gubuk sol sepatu milik Bapak Handoko. Dalam sehari penghasilan yang didapatnya tak menentu. Ramai dan sepi menjadi sebuah kondisi yang tak bisa diduga Pak Handoko. Harga sol sepatu di Gubuk Pak Handoko terbilang tidak mahal, biasanya sepasang sepatu dipatok harga Rp. 30.000 sampai Rp. 50.000 tergantung dari jenis sepatunya. Syukurnya, ada saja yang datang untuk sekedar memperbaiki sepatu yang rusak.

           Bapak Handoko (52), seorang pria tua yang tangguh merintis usahanya semenjak tahun 1986. Pak Handoko belajar ngesol sepatu dari temannya sewaktu di kota asalnya Solo, Jawa Tengah. Keahlian ngesol sepatu masih di tekuninya hingga sekarang. Terbukti dari hasil kerja beliau yang sangat rapi dan cekatan dalam ngesol sepatu pelanggannya. Setidaknya dengan keterampilan dan kecekatan Pak Handoko dalam ngesol sepatu dapat membuat pelanggan tidak lari ke tempat sol sepatu lain dan tetap ngesol sepatu di tempatnya.

          “Disini kerjanya rapih dan juga murah,” ujar Degus, salah satu pelanggan yang kebetulan sedang menunggu sepatunya selesai diperbaiki.

          Kemungkinan yang bisa membuat jasa sol sepatu Pak Handoko sepi ialah tempat yang kurang strategis meskipun sudah berada di pinggir jalan. Gubuk sol sepatu Pak Handoko sendiri sebenarnya hanya lahan kosong dari pekarangan luar rumah yang telah diizinkan pemilik rumah untuk digunakan oleh Pak Handoko sebagai lahan tempat mendirikan gubuk sol sepatu tempatnya mengais rejeki.

          Gubuk sol sepatu inilah yang sering menjadi sasaran empuk bagi preman-preman yang meminta uang keamanan atau semacamnya yang membuat Pak handoko terpaksa mengeluarkan hasil jerih payahnya ngesol sepatu. Hal tersebut dilakukannya semata demi menghindari terjadinya permasalahan yang panjang, meskipun pada akhirnya pendapatannya hari ini berkurang. Namun, itu tak membuat semangat Pak Handoko surut.

          Di Denpasar, Pak Handoko tidak tinggal sendiri. Ia ditemani oleh istri dan seorang anaknya. Bertempat di Jalan Pulau Salawati, Denpasar, tak jauh dari gubuk sol sepatunya, sedangkan anaknya bekerja sebagai supir di Nusa Dua. Uang hasil dari jasa sol sepatu setidaknya dapat mencukupi keperluan sehari-hari keluarga kecilnya dan juga bantuan dari pendapatan sang anak.

          Meskipun dengan pendapatan yang pas – pasan, namun Pak Handoko tetap teguh mempertahankan pekerjaannya ngesol sepatu. Walaupun penghasilan tak tentu akan tetapi setidaknya dapat mencukupi biaya hidup sehari-hari dan dapat membantu orang lain. (AJD5)

Perkembangan Zaman, Tingkatkan Eksistensi Pecalang

DSCN9557

Seorang pecalang sedang mengatur arus lalu lintas di daerah Serangan, Denpasar Selatan, Sabtu (15/04/2017). (DSD5)

           Denpasar – Dengan gagah tampak beberapa pria sedang mengatur lalu lintas lokasi upacara adat, menggunakan pakaian udeng dan saput poleng (belang). Tak jarang beberapa diantara mereka juga membawa sebuah keris sebagai ciri khas penjaga keamanan Bali. Iya, dia adalah seorang pecalang yang sedang bertugas. Pecalang sangatlah identik dengan upacara adat dan juga agama. Pecalang adalah seorang petugas keamanan tradisional yang biasanya ada di seluruh desa bahkan banjar yang ada di Bali. Namun seiring berkembangnya zaman, nampak fungsi pecalang juga semakin berkembang.

          “Tugas utama pecalang adalah menjaga keamanan dan ketertiban di wilayah Desa Pakraman utamanya dalam hubungan desa adat dan pakraman,” ujar Gede Sunita, Kelian Banjar Sema, Desa Pakraman Sangsit.

          Keberadaan pecalang ini juga sangat terkenal tidak hanya di Indonesia bahkan hingga ke Dunia, terutama saat Hari Raya Nyepi.  Hal ini dikarenakan keberadaan pecalang sangat mencolok ditengah jalanan Bali yang sepi.

          Menurut Made Awan (48), salah seorang pecalang, bahwa saat Hari Raya Nyepi seluruh personel pecalang ditempatnya dikerahkan untuk menjaga perayaan Hari Raya Nyepi agar tetap khusyuk.

          Namun kini hampir di seluruh wilayah Bali sudah mulai tergerus arus globalisasi. Eksistensi pecalang pun tak luput terkena imbasnya. Saat ini pecalang tidak hanya bertugas menjaga keamanan dan ketertiban di Desa saat adanya upacara saja, namun pecalang mulai memasuki bidang politik, ekonomi , dan juga pariwisata. Kini pecalang juga memiliki tugas menjaga tempat – tempat wisata, hiburan, hingga menjaga tamu – tamu penting dari luar daerah. Seperti yang terbaru,  pecalang turut serta menjaga kedatangan Raja Saudi Arabia ke Bali beberapa waktu lalu.

          Menurut Gede Sunita (45), penambahan fungsi – fungsi dari pecalang ini tidak sama di seluruh desa yang ada di Bali. Hal ini dikarenakan setiap desa memiliki peraturannya sendiri tentang pecalang dan menurutnya itu juga sah saja melihat perubahan zaman.

          Bagi masyarakat tentu kehadiran pecalang menjadi kebanggaan sendiri karena selain menjaga keamanan, pecalang juga kerap membantu masyarakat dalam berbagai hal demi meningkatkan kerukunan dan rasa kekeluargaan.

          Disadari atau tidak, saat ini pecalang menjadi sangat dikenal diseluruh dunia bukan hanya karena ketradisionalannya dalam menjaga keamanan desa, tapi juga karena eksistensinya dibidang lain yang mampu mengikuti zaman. (DSD5)

Potensi Wisata Desa Tanpa Suara

Untitled8

Dalam keterbatasan suara dan pendengaran, masyarakat lokal mengajari wisatawan menari.

Dinamika kehidupan di Bali sangat beragam. Tidak hanya kaya akan tradisi dan kebudayaan, Bali juga dikenal dengan kehidupan sosialnya yang unik. Salah satu temuan keunikan kehidupan sosial di Bali terletak di bagian Utara Pulau Bali. Tepatnya, di Desa Bengkala yang terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Saat ini, 42 dari hampir 3.000 orang warga Desa Bengkala menyandang status tuli bisu sejak lahir. Jumlah ini adalah yang terbanyak dibandingkan jumlah penyandang tuli bisu di sebuah desa pada belahan lain Pulau Bali. Maka tidak heran apabila Desa Bengkala sering disebut sebagai Desa Kolok.

“Penyandang tuli bisu di desa ini memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Selain kekurangannya dalam berbicara dan mendengarkan, penyandang tuli bisu adalah pribadi disiplin. Mereka memiliki etos kerja tinggi dan tidak minder dengan penduduk yang lain. Mereka selalu diperlakukan sama, bahkan mendapat hak istimewa untuk terbebas dari iuran wajib desa.” Ungkap Kepala Desa Bengkala, Made Astika.

Kondisi warga desa yang menyandang tuli bisu merupakan fenomena turun-temurun selama lebih dari tujuh generasi. Masyarakat setempat mempercayainya sebagai sebuah kutukan. “Yen inget jak tutur tua-tua ne, ipidan nak ade gering gede ane ngeranaang liu ade anak kolok dini (Kalau diingat-ingat cerita orang tua pada zaman dahulu, telah terjadi musibah besar yang menyebabkan banyak ada orang bisu di desa  ini). Jani be bedik adane, ipidan liunan buin jumlahne (Sekarang sudah sedikit, dulu bahkan lebih banyak jumlahnya).” tutur Man Nik yang pekerjaan sehari-harinya sebagai pedagang sembako.

Para penyandang tuli bisu di desa ini kemudian tergabung ke dalam sebuah kelompok kesenian serta dibina dan difasilitasi untuk dapat berkarya seperti warga desa yang lain. Hal ini terbukti dari berkembangnya sebuah karya seni yang sukses menjadi ciri khas Desa Bengkala yaitu Tari Janger Kolok. Seringkali Tari Janger Kolok mendapat tawaran untuk tampil dalam berbagai acara. Seperti hiburan dalam acara pernikahan, mengisi acara ulang tahun desa bahkan sempat turut serta mengisi acara pawai kesenian di Buleleng.

Tari Janger Kolok merupakan sebuah tarian janger yang khusus ditarikan oleh para penyandang tuli bisu di desa ini. Biasanya tarian ini terdiri dari belasan orang laki-laki dan dua orang perempuan. Satu orang laki-laki akan menjadi pemandu dengan membawa gupek / kendang. Tujuan terciptanya tarian ini adalah untuk memberikan kesempatan yang sama kepada penduduk penyandang tuli bisu agar dapat memiliki rasa kepercayaan diri untuk tampil di depan umum seperti penari Bali pada umumnya. Selain itu, tarian ini merupakan hasil modifikasi dari tarian janger yang sudah umum dipentaskan dengan menggunakan suara yang berasal dari nyanyian para penarinya.

Untitled9

Bentuk pengenalan keunikan bahasa isyarat lokal kepada wisatawan mancanegara.

Keberadaan penduduk yang menyandang tuli bisu lambat laun menjadi daya tarik tersendiri bagi Desa Bengkala. Dibandingkan wisatawan lokal, lebih banyak wisatawan mancanegara yang merasa terpanggil untuk mengetahui pola perilaku masyarakat Desa Bengkala khususnya penduduk penyandang tuli bisu. Walaupun jumlahnya minoritas, pola interaksi penyandang tuli bisu yang menggunakan isyarat tangan dalam berkomunikasi telah menjadi hal umum untuk dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan antarmasyarakat yang tidak menyandang tuli bisu pun lebih sering menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi.

Hal ini pun menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk mengunjungi Desa Bengkala. Pasalnya, keunikan bahasa isyarat lokal yang digunakan penyandang tuli bisu di desa ini merupakan hasil dari kebiasaan masyarakat dalam mengekspresikan suatu hal. Pakem yang digunakan berbeda dengan sign languange atau bahasa isyarat nasional maupun internasional. Hal ini kemudian mengundang perhatian wisatawan untuk mempelajari penggunaan bahasa isyarat lokal bagi penyandang tuli bisu di Desa Bengkala. Tidak jarang Desa Bengkala kemudian dijadikan sebagai pusat penelitian oleh beberapa lembaga baik yang berasal dari Bali, Indonesia maupun kancah internasional. (Sun4)

 

 

Ras Luar Menyebar, Ras Kintamani Terancam

PENJAGA: salah satu anjing ras kintamani milik warga kintamani, Bangli yang dipelihara untuk menjaga rumah pemiliknya, Minggu (16/04). (jnt3)

            Denpasar – Menjadi salah satu tanda pengenal suatu daerah, anjing ras kintamani bangli menunjukkan eksistensinya. Ya, nama ras anjing yang tidak asing lagi di dengar ini kini mulai menggaet perhatian pecinta anjing. Sayangnya, ras yang berasal asli dari Kintamani, Bangli ini mengalami berbagai ancaman. Salah satunya mempertahankan kemurnian ras aslinya.

            “Kedatangan ras luar yang dikawinkan dengan ras kintamani ini diduga menjadi salah satu faktor yang bisa mengancam kemurnian anjing ras kintamani. Jika hal ini tidak mendapat dukungan dari semua pihak dan terus seperti ini, takutnya akan berpengaruh terhadap fenotipe anjing ras kintamani itu sendiri dan bisa saja ada perubahan pada ras itu,” tutur Drh. I Made Kardena , S. KH., MVS selaku Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana. Baca lebih lanjut

Lestarikan Budaya Bali dengan Bondres Cilik

Dian Dhairya Daneswara , Pesta Kesenian Bali 2016 (20/03) (Wkk2)

Denpasar – Kurang lengkap rasanya menggelar acara tanpa kehadiran pelawak-pelawak dengan pakaian serba unik dan medok Bali yang menggugah tawa. Masyarakat Bali mengenalnya dengan sebutan Bondres. Mulanya, Bondres merupakan selingan dalam tari atau kesenian topeng. Namun belakangan Bondres mulai tampil terpisah dan memiliki pertunjukan sendiri. Tujuan Bondres biasanya bersifat edukatif karena seniman Bondres percaya bahwa menyampaikan suatu hal melalui lawakan atau banyolan akan lebih mudah diingat serta lebih menarik perhatian masyarakat dalam hal ini penonton.

Bukan hanya tari dan musik tradisional. Bondres pun kini mulai ditinggalkan oleh generasi muda. Mereka kini cenderung mencari hiburan yang bersifat “kekinian” salah satunya konser musik. Namun tidak dengan Dian Dhairya Daneswara. Siswa kelas lima SD Saraswati 2 Denpasar ini memiliki ketertarikan yang besar di bidang pewayangan terlebih lagi Bondres. Dengan hobinya sebagi Bondres, siswa yang kerap disapa Danes ini berhasil mengantongi berbagai penghargaan mulai dari yayasan hingga Provinsi Bali. Salah satu penghargaan yang berhasil ia raih adalah juara 2 kategori umum se Provinsi Bali  di Puri Kesiman Denpasar.

Melihat potensi siswanya yang begitu besar, hal tersebut tak ingin disia-siakan oleh Bapak Nyoman Suwastha selaku kepala sekolah SD Saraswati 2 Denpasar. Beliau berpendapat bahwa

“Bakat dan ketertarikan seperti ini sangat langka dimiliki oleh generasi muda, sehingga saya memutuskan untuk membentuk pengembangan diri yang khusus untuk pewayangan dan bondres yang kami sahkan pada tahun 2013 silam. Untuk sementara latihannya kami gabung dengan pengembangan diri tradisional berupa seni tari dan gamelan Bali. Bondres ini juga sudah beberapa kali kami kirim untuk tampil di beberapa pementasan seni seperti Pesta Kesenian Bali, dan beberapa acara keagamaan Bali. Sehingga kami harapkan kedepannya orang tua yang menonton tertarik mengenalkan anak mereka tentang seni dan budaya tradisional Bali.”

Ibu Kadek Juniati selaku pembina pengembangan diri tari dan Bondres ini berpendapat bahwa keinginan untuk tampil dari anak-anak didiknya memudahkannya dalam membimbing.

“Tidak ada demam panggung, mereka malah senang kalau disuruh tampil. Padahal anak-anak seumuran mereka biasanya masih sembunyi sama orang tuanya,” katanya sambil terkekeh.

Tidak hanya teman-teman satu sekolah, para pemain Bondres cilik ini telah memiliki fans yang terbilang beragam. Dari anak kecil hingga dewasa pun ikut terpingkal-pingkal dibuatnya.

“Iya pernah nonton dulu di PKB. Mereka lucu, pas lupa dialog saling nyalahin satu sama lain. Bapak walikota sampai gabisa nahan tawa,” kata Nanda salah satu mahasiswi Stikom Bali.

Semoga bondres cilik ini terus berjaya dan tidak berhenti berkarya !!! (Wkk2)