(24/04/17) Ucapan selamat datang memasuki Desa Subaya. (Mey6)
Hawa dingin menyambut kedatangan saya di daerah Kintamani, Bangli setelah dua jam perjalanan dari Denpasar. Saya akan pergi ke daerah Subaya, Bangli untuk menengok adik-adik yang saya ajar tahun lalu dalam gerakan Udayana Mengajar. Desa Subaya merupakan desa binaan BEM PM Universitas Udayana selama dua tahun dari tahun 2015 dan berakhir di awal tahun 2017.
Perjalanan ke Desa Subaya dilanjutkan dengan setengah jam perjalanan menuju utara Kintamani. Melewati hutan pinus dan segarnya udara Kintamani sehingga rasa lelah selama perjalanan hilang.
Perjalanan sesungguhnya pun dimulai. Menuruni bukit. Jalan menuju Desa Subaya merupakan jalan kecil yang hanya bisa dilewati satu mobil saja. Ketika ada mobil yang berpapasan, maka salah satu mobil harus mengalah. Kiri kanan jalan tersebut adalah jurang dengan turunan yang esktrem dan rusak.
Saya bisa melihat pemandangan Pantai Utara Bali dari jalan yang saya lalui. Kali ini saya sedang beruntung karena cuaca tidak terlalu berkabut karena ketika cuaca berkabut, nyali akan dibuat ciut. Jika terjadi kesalahan sedikit saja, ajal akan menjemput.
Selama ini, keberadaan Desa Subaya terkesan sangat terisolir. Letak desa tersebut berada sangat jauh dari pusat perekonomian dan pendidikan Bangli. Untuk menuju Kota Bangli saja, warga Desa Subaya harus menempuh jarak sekitar 35 kilometer yang harus ditempuh dengan satu setengah jam. Belum lagi, infrastruktur jalan menuju desa tersebut banyak tidak memadai dan rusak.
(24/04/17) Infrastruktur jalan menuju desa yang tidak memadai dan rusak. (Mey6)
Namun dengan semua perjuangan untuk sampai di desa ini, Subaya memiliki pemandangan yang sangat memikat. Yang masih perawan dan belum tersentuh modernisasi. Hijau membentang dari ujung ke ujung. Kunang-kunang masih lestari dan mudah dijumpai ketika malam.
Subaya juga memiliki Bukit Menda dengan pemandangan dari ketinggian yang luar biasa. “Rencananya bukit Mendee akan dijadikan tempat wisata. Kami masih berusaha membangun infrastruktur yang mendukung” ucap Sekretaris desa Subaya. Memiliki air terjun setinggi 40 meter yang masih alami dan areal perhutanan dan pertanian yang sangat luas.
Setelah naik turun lembah selama kurang lebih dua puluh lima menit, saya sampai di Desa Subaya. Saya menuju sekolah dasar satu-satunya yang ada di desa tersebut, SD N 1 Subaya. Saya disambut oleh senyuman adik-adik yang ramah dan penuh energi.
(24/04/17) Anak-anak di desa Subaya yang sedang bermain di halaman sekolah. (Mey6)
SD N 1 Subaya berada di ujung jalan utama desa tersebut. Dari ujung jalan tersebut tidak ada lagi jalan untuk mobil, hanya jalan setapak dan jalan untuk motor kecil yang tersedia untuk menuju desa terpencil lainnya. SD N 1 Subaya cukup layak untuk desa yang termasuk kecil, kelas masih layak pakai dan atap masih aman dari air hujan.
Jumlah murid yang ada sekitar seratus lima puluh enam orang siswa dari kelas satu sampai kelas enam. Mirisnya guru yang dimiliki hanya lima orang saja yang notabene tidak semuanya PNS dan bersifat pengabdian saja. Kepala sekolah SD tersebut pun harus merangkap menjadi guru. Tercatat mulai tahun 2016 lalu sudah dibangun SMP dan tahun ini baru angkatan pertama.
Perkembangan anak-anak disana tidak seperti anak-anak di kota pada umumnya. Masih jauh dari pengaruh gadget atau paparan televisi. Di desa ini, sepulang sekolah anak-anak akan membantu orangtua mereka bertani. Bahkan terkadang mereka lebih memilih membantu orangtua dibanding bersekolah. Mereka akan mandi di pancoran dan mencuci baju mereka sendiri. Anak-anak yang luar biasa mandiri.
Di sekolah, ada beberapa anak yang terkadang masih menggunakan baju bebas, bukan baju sekolahnya. Terdapat juga anak-anak yang masih menggunakan alas kaki seadanya dan bukan sepatu. Banyak dari mereka yang bajunya terlihat lusuh karena mereka tidak menggunakan setrika untuk mengencangkan baju mereka. Mereka terkadang hanya menaruh bajunya di bawah kasur.
Dengan keterbatasan seperti itu, mereka tetap tidak pantang menyerah untuk belajar dan melanjutan pendidikan. Semangat belajar mereka tidak pernah padam terbukti dengan dibuatnya SMP karena minat anak-anak yang tinggi untuk melanjutkan sekolah mereka ke jenjang sekolah menengah. Anak-anak Subaya adalah anak-anak yang tekun dan memiliki semangat belajar yang tinggi.
Hal ini membuat mata hati saya terbuka lebar. Bali yang di anggap kaya ini, masih memiliki banyak anak-anak dengan kondisi seperti ini namun tetap punya semangat belajar yang tinggi. Mereka adalah teladan.
Buat saya, anak-anak luar biasa ini sesungguhnya mutiara yang lama terendam di dalam lumpur. Sehingga jika diasah dengan benar dan difasilitasi dengan maksimal, mereka akan mengguncang dunia dengan bakatnya.
(Mey6)