Tradisi Jaga-jaga, Awal Mula Bhisama Rare Angon

KEPALA SAPI : Setelah prosesi dari persiapan hingga sapi diarak sampai di Pura Buit, sapi digorok. Kepala sapi dihaturkan dan bagian badannya dikubur yang menandakan usainya prosesi Tradisi Jaga-Jaga (22/04) (fir3)

      Denpasar – Memiliki daerah tak seluas Kota Denpasar yang terletak di wilayah Bali bagian timur. Namun, kabupaten yang mendapat julukan kota serombotan ini memiliki sejuta tradisi yang tersimpan di setiap pelosoknya.  Salah satunya tradisi unik yang datang dari Desa Gunaksa, Kabupaten Klungkung.

      Ya, Desa Gunaksa terletak kurang lebih 4 Km dari pusat Kota Semarapura ini memiliki tradisi yang menjadi saksi bisu sejarah desa. Tradisi yang menjadi bagian upacara desa ini bernama upacara Jaga-jaga. Tradisi Jaga-jaga dalam pelaksanaannya merupakan upacara arak-arakan seekor sapi merah atau sapi cula yang dibawa keliling desa oleh masyarakat setempat.

      Seperti yang dituturkan bendesa adat Desa Gunaksa, I Wayan Mardana bahwa adanya upacara hingga menjadi tradisi ini tak semata-mata muncul begitu saja. Jika menelusuri Desa Gunaksa, maka baru memasuki kawasannya pun akan menggambarkan bagaimana keberadaan tradisi Jaga-jaga itu ada. Tradisi ini dilakukan tak hanya sebagai prosesi upacara semata, namun menjadi penebusan sebuah kesalahan perilaku leluhur dahulu.

      “Tradisi ini berawal dari adanya ambeng-ambengan jagat, yaitu berupa dua ekor sapi. Satu sapi merah dan satu sapi hitam yang digembalakan oleh pengembala yang bernama I Rare Angon. Nah, Desa Gunaksa ini dulunya adalah suatu desa purba yang mana penduduknya dominan bermata pencaharian agraris. Sehingga untuk menjaga daerah Gunaksa ini, penduduk pun menggunakan sapi dalam membajak sawahnya. Termasuk juga bisa menggunakan dua sapi ambeng-ambengan jagat tadi,” tutur Mardana ketika ditemui di kediamannya di Desa Gunaksa.

      Hebatnya, setiap kali membajak menggunakan sapi itu, sawah menjadi lebih subur dan selalu menghasilkan hasil cocok tanam yang melimpah ruah. Sehingga semakin banyak penduduk yang membutuhkan sapi itu, sayangnya, ada seorang penduduk yang selalu tidak mendapat giliran mengembalakan sapi itu di sawahnya.

      “Suatu hari ada seorang penduduk, yang kebetulan anak Jero Mangku Dauh Bingin yang bernama I Surakerta. Ia ingin meminjam sapi si Rare Angon, namun selalu saja tidak kebagian karena keterlambatan. Akhirnya keluar sifat tamah dan momonya Surakerta yang ingin memiliki semua sapi itu. Disaat itulah akhirnya ia melakukan meparikosa terhadap I Rare Angon,” tambahnya.

        Alhasil, tindakan itu nihil. Hingga muncul keinginan untuk membunuh I Rare Angon dan merampas sapinya. Namun, keinginannya itu pun juga tak tercapai. Akhirnya kedua sapi itu lari. Sapi merah lari ke desa dan satu lagi lari ke Pura Dalem.

    “Kejadian yang lumayan memakan waktu ini akhirnya menyebabkan semua kelelahan. I Surakerta akhirnya lelah, I Rare Angon juga payah dan sapinya pun ngepah. Nah, di sanalah I Rare Angon mengeluarkan bhisama.” Jelas Mardana.

     Mardana menuturkan isi bhisama Rare Angon, “Wahai engkau penduduk Gunaksa, karena kesalahanmu terlalu besar dan meparikosa hingga ingin membunuhku. Maka, sapi-sapi ini akan hilang pada hari ini, termasuk juga saya. Apabila nanti kau meninggal dan telah dilakukan proses pitra yadnya wajib hukumnya naur sor (membayar) atas perilakumu,” begitu kurang lebih bhisama Rare Angon tambahnya.

     Sejak saat itulah, untuk menebus bhisama Rare Angon penduduk Desa Gunaksa menggelar tradisi Jaga-jaga berupa mengorbankan seekor sapi merah atau sapi cula setiap tahunnya. Tepat pada Tilem kedasa atau tanggal apisan sasih jiestya ngusaba pitra, tradisi ini wajib untuk dilaksanakan. Dilaksanakannya tradisi ini pun bertepatan dengan ngusaba desa yang akan dilakukan tiga hari setelah Jaga-jaga.

      “Tiga hari sebelum ngusaba desa atau tepat ketika dilaksanakan Jaga-jaga disebut upacara Nyaak. Berbagai persiapan pun dilakukan oleh prajuru desa, mulai dari sangkep, hingga memperhitungkan pembelian sapi yang nantinya akan digunakan Jaga-jaga,” tutur Jero Mangku Alit Sudarsana selaku pemangku yang mengempon jalannya upacara ini.

      Setelah itu, pelaksanaan upacara ini akan diberikan kepada krama banjar secara bergilir. Dengan biaya yang ditanggung desa, krama banjar hanya membeli sapi dan melaksanakan upacara itu. Bukan tanpa arah, ketika hari H sudah tiba, sapi merah yang sudah dipersiapkan tadi akan diarak dari Pura Puseh menuju Pura Buit.

       Sebelum sapi siap diarak, sapi ini akan mendapatkan perlakuan khusus. Mulai dari dirias dengan mengenakan kain, dikalungkan uang kepeng, hingga dilakukan upacara otonan untuk sapi tersebut yakni dengan menggelangkan benang keempat kakinya yang sudah berisi sepasang uang kepeng. Persiapan ini pun tak sembarang tempat, segala prosesi persiapan dilakukan di Pura Dalem Pakenca. Sebelum berangkat ke Pura Puseh, sapi ini akan dilukai badannya hingga mengeluarkan darah.

      Ketika sapi sudah siap, maka krama bersiaga untuk mengarak sapi menuju Pura Puseh. Bahkan ketika  pelaksanaan tradisi ini sangat jelas terlihat, karena biasanya anak-anak kecil akan riuh berdatangan lebih awal untuk bisa menyaksikan sapi yang diarak ini. Ya, gelak tawa dan injakan kaki yang lari megrudugan seakan menjadi tanda bahwa sapi segera datang.

      Hal ini pun seakan menjadi pengenal untuk warga pemiliki rumah di pinggir jalan yang akan dilalui sapi Jaga-jaga untuk mempersiapkan sepasang canang, lengkap dengan segehan beserta api takep. Sesajen ini akan dihaturkan ketika sapi datang dari Pura Puseh. Bukan tanpa arti, Jero Mangku Alit menuturkan sesajen yang dihaturkan ini merupakan kepercayaan masyarakat memberikan suguhan untuk menyambut butha kala yang mengiringi di belakang sapi ini.

       Jika prosesi di Pura Puseh telah usai, sapi ini selanjutnya diarak menuju Pura Buit dengan dicambuk sepanjang perjalanan. Hal ini dilakukan agar darah sapi menetes sepanjang perjalanan yang dilalui. Jero Mangku Alit menuturkan hal seperti ini diyakini sebagai ruwatan bumi agar pertiwi memberikan keselamatan. Di penghujung tradisi Jaga-jaga ini, sapi selanjutnya digorok di Pura Buit. Nantinya kepala sapi akan dihaturkan ke pelinggih dan badannya akan dikubur tepat di depan pelinggih. Sampai pada tahap itu, usai sudah prosesi tradisi Jaga-jaga. Selanjutnya, warga akan menanti tiga hari untuk melaksanakan upacara Ngusaba Desa di Pura Dalem. (jnt3)

Tinggalkan komentar