Teater kalangan dalam kereta kencana “eugene lonseco-parade teater Bali Arti Foundation, Selasa, (13/09/11). (Dok. Pribadi)
“Kita sama sekali tidak pernah konsisten dalam menekuni teater, kita banyak sekali terjebak dalam proyek teater. Kita berteater bukan untuk memperjuangkan sesuatu tetapi mengisi acara.”- I Wayan Sumahardika
Ketika berbicara tentang kesenian tradisional, Bali menjadi tempat dimana kekayaan seni terus dijaga hingga sekarang karena mengalami komodifikasi dalam hal Pariwisata. Bali menjadi anak “emas” dalam kekayaan dan kepopuleran seni secara global. Bahkan Bali lebih dikenal dibanding Indonesia.
Kebudayaan bersifat fluid, mengalir sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Perkembangan teater modern di Bali mengalami pertumbuhannya sendiri. Ketika kesenian tradisional tetap menjadi sorotan di Bali, kesenian modern seolah-olah seperti bayangan yang tumbuh diam-diam oleh hanya segelintir penikmatnya.
Kita memiliki Putu wijaya, Cok sawitri, Kadek Suardana dan beberapa sastrawan Bali yang genius di tahun 80 hingga 90an dan berhasil meramu unsur tradisi dengan modernitas dengan menyuguhkan karya – karya yang apik.
Tetapi sejak reformasi, Idiom teater modern yang berbasis tradisi itu hilang dengan seketika. Dalam perkembangannya di tahun 2000an hingga sekarang, teater di Bali mengalami pasang surut dan bisa dianggap dalam keadaan kritis.
Melihat seniman teater yang serius saat ini, sangat sulit. Beruntung ada satu dari segelintir seniman muda yang sangat progresif dan serius membangun kembali teater di Bali, bernama I wayan Sumahardika. Suma, sapaannya menggeluti teater sejak masih di bangku SMP hingga sekarang. Dengan teaternya yang bernama Teater Kalangan, ia produktif menghasilkan pertunjukan teater yang membuat orang berdecak kagum.
Permasalahan teater di Bali saat ini adalah, kekurangan pelatih. Hal ini dikonfimasi oleh Iin Valentine, mahasiswi tingkat akhir yang aktif di Teater Orok, Universitas Udayana. Seringkali di sebuah teater sekolah maupun universitas, pelatih yang mumpuni susah ditemui.
Menurut Suma, karena banyak seniman teater yang notabene ikut ekstrakulikuler teater di SMP/SMA nya, dengan ilmu berkesenian yang kurang matang, langsung terjun melatih bibit-bibit baru.
“Regenerasi seniman teater di Bali susah. generasi kita yang masih merintis ini harus aktif mencari mentor dan belajar sendiri, untuk nantinya dapat tumbuh dan berkembang. Seharusnya kami diberikan ruang untuk bertumbuh dan berkarya lebih baik lagi,” tambahnya.
Kedua, kurangnya ada diskusi yang terjadi ketika adanya sebuah pertunjukan teater. Di Bali penonton menganggap teater hanya sebuah hiburan dan “tontonan” semata, padahal teater saat ini menjadi wadah bagi jalannya sebuah diskusi lebih lanjut mengenai pertunjukan itu sendiri. Pertunjukan teater juga menjadi wadah dalam menyebarkan kesadaran atas suatu hal. Teater menjadi media untuk mengajak penonton untuk berada dalam sebuah realitas yang asing.
Apa yang terjadi di Bali adalah, mayoritas orang menonton teater hanya untuk sekedar hiburan semata. Tidak untuk pengembangan intelektualitas. Teater eksperimental tidak begitu disukai dan diskusi yang terjadi selama ini hanya berupa hal-hal teknis, seperti lighting, skrip, dan gesture.
Menurunnya kualitas dan euphoria teater modern di Bali, karena ditiadakannya lomba teater di Pekan Seni Remaja saat itu. Ketiadaan lomba ini membuat kelesuan teater SMP dan SMA di Bali. Padahal, teater cukup populer dikalangan remaja SMP dan SMA. Keberadaan ekstrakulikuler teater dan bagaimana bibit – bibit masa depan dilatih, sangat berpengaruh pada wajah teater Bali kedepannya.
”Di Bali semoga lebih berani dalam pementasan dan generasi penerus teater tidak malas untuk mencari referensi dan keluar dari zona nyaman,” ungkap Iin Valentine, peraih aktor terbaik 3 dalam festival monolog 2015.
Menurut Suma, justru ia bangga dengan adanya teater-teater tersebut. Menurutnya, eksistensi teater Kini berseri, adalah hal yang orisinil.
“Mereka (kini berseri) teater industri yang memiliki idealisme, Tekiber tidak menganggap mereka seorang seniman, yang orientasinya untuk seni, kejujuran itu yang susah ditemukan di Bali. Bahwa rasa toleransi dan pertemanan antar sesama teater itu yang harusnya dipupuk, bukan saling menyerang satu dengan lainnya,” ungkap Suma. (ANY5)