STOP !! Penelantaran pada Anak Anjing

1465037710432

Anak Anjing di Saluran Pembuangan (Sumber: Flickr)

Denpasar- Departemen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kota Denpasar (Disnakeswan) menegaskan untuk berhenti menelantarkan anak anjing di jalanan, jika ingin menghentikan penyebaran virus  rabies. Sudah banyak ditemukan anak anjing yang ditelantarkan ibarat benda tak bernyawa. Hal ini membuat sebagian orang merasa khawatir terhadap penyebaran virus rabies.

“Jika memang kebetulan seekor anjing liar memiliki anak anjing , jangan membuang mereka tapi  hubungi saja  Dinas Peternakan karena kami akan menanganinya, apakah itu berarti adopsi atau sterilisasi.” Ujar Dr. IKG Nata Kesuma selaku kepala Disnakeswan.

Menurut Kesuma, situasi rabies di Bali mulai stabil dengan upaya lain seperti program vaksinasi anjing massal yang berjalan dari April 18-31 Juli 2016 ini. Tetapi untuk menjaga hal-hal di bawah kontrol, masyarakat harus berhenti untuk menelantarkan anjng. Dan bagi masyarakat lainnya yang memelihara anjing diwajibkan untuk  melakukan vaksinasi.

Kesuma menjelaskan bahwa populasi anjing di Bali saat ini telah mencapai angka   411.153 ribu ekor. Dari angka tersebut 95% adalah anjing peliharaan namun 20%  diantaranya dipelihara di dalam rumah  dan sisanya dibiarkan berkeliaran bebas bersama 5% anjing liar lainnya.

“Kami berharap masyarakat agar berperan aktif dalam program ini dengan membawa anjing mereka untuk melakukan vaksinasi, sehingga rabies dapat ditangani,” Tambah Kesuma. (Wigati Sita)

 

Mobil “Tua-tua Keladi” Petugas Damkar Klungkung

si kumbang

Kumbang III saat berada di parkiran Dinas Pemadam Kebakaran Kabupaten Klungkung, Kamis (24/03) (Indita Belinda)

Klungkung – Tua dan usang, demikian penampilan mobil petugas pemadam kebakaran Kabupaten Klungkung. Sekilas mobil ini terlihat tidak mungkin masih bisa membantu petugas memadamkan api. Tetapi jangan tertipu oleh penampilannya, mobil yang digunakan sejak 1995 ini masih beroperasi hingga sekarang.

Mobil merk Mercedes Benz MB300 buatan Jerman ini sudah mengabdi selama 21 tahun pada PMK (Pemadam Kebakaran) Klungkung. Dengan ukuran yang tidak terlalu besar, mobil ini memiliki single cabin yang mampu menampung tiga awak yakni seorang pengemudi dan dua orang awak sedangkan awak lainnya yang ikut bertugas akan duduk di atas tanki air. Kapasitas bahan bakar mobil ini 100lt, memiliki daya tampung 3000lt air, dan mampu melaju hingga 80km/jam.

Mobil tua ini digerakan oleh dua mesin yakni mesin mobil itu sendiri dan mesin portable atau mesin tempel yang berfungsi menggerakkan pompa untuk menghisap dan memompa air. Mesin portable yang digunakan oleh mobil damkar tua ini adalah mesin produksi Isuzu.

“Kenapa menggunakan Isuzu? Karena suku cadangnya lebih gampang, ada di pasaran. Kalau yang dulu menggunakan Tohatsu, suku cadangnya semua ada di perusahaannya, di Jepang.” terang I Ketut Astawa (54), Komandan Pleton PMK Klungkung. Kamis(24/03)

Sudah banyak peristiwa kebakaran yang ikut ditangani oleh mobil ini. Tahun 2015 silam, mobil dengan julukan Kumbang III ini ikut menangani 34 peristiwa yang sebagian besar kebakaran dialami oleh rumah tinggal.

Melihat usianya yang cukup tua, tentunya Kumbang III memiliki kendala ketika beroperasi. Kendala yang dialami ialah mesin portable yang digunakan untuk memompa air tidak memiliki kontrol minyak sehingga sulit mengukur jika bahan bakar mesin sudah habis. Sering kali ketika beroprasi, mesin tiba-tiba berhenti karena kehabisan bahan bakar.

“Kalau di mobilnya kelihatan dia (penggunaan bahan bakar) kan ada amperenya, kalau di mesin portablenya tidak  karena kita menggunakan tanki buta istilahnya tidak ada mainan ampere makanya kita main perasaan.” ungkap Astawa.

Kendala lainnya juga pada mesin yang mudah panas karena tidak memiliki sistem pendingin sehingga mengharuskan petugas damkar untuk pintar-pintar mengatur mesin ketika beroperasi.

“Paling tidak ya pertama kita main keras, begitu tau kondisi mesinnya sudah agak tinggi panasnya itu ya kita tarik lagi, powernya turunin lagi sedikit. Makanya main kita itu,” jelasnya lagi.

Selain pada mesin, tidak ada kendala lain yang berarti. Meskipun sudah tua, mobil damkar ini masih layak dan tetap bisa digunakan karena pemeliharaannya tergolong sangat baik.

“Kalau masih bisa dipergunakan ngapain harus diganti-ganti? Tetap kita pakai,” ujar I Made Sirat (54), Kepala Bidang Peralatan dan Perbekalan Pemadam Kebakaran Kabupaten Klungkung, Kamis(24/03).

Namun demikian, dinas PMK Klungkung tiap tahun mencanangkan dana pembelian aramada baru untuk mengantisipasi kerusakan permanen pada armada tua yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

(Indita Belinda)

 

Ubud Food Festival Ajang Memaksimalkan Performa Pariwisata Ubud

Poto Lola Simanjuntak

Instrument jamming session yang melantunkan lagu-lagu daerah oleh band lokal di panggung Ubud Food Festival. (Aurora)

Ubud, Gianyar – Pertamakali di gelar tahun 2015, Ubud Food Festival (UFF) adalah acara jelajah kuliner tahunan yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut dengan menyajikan kuliner dan budaya indonesia sebagai menu utamanya. UFF memiliki misi memperkenalkan masyarakat dengan makanan, kebudayaan, dan sejarah indonesia untuk menaikkan kesadaran akan kekayaan kuliner indonesia. Dinilai penting juga untuk mengedukasi masyarakat dengan diskusi penuh arti tentang kesehatan dan keberlangsungan pangan; dan juga untuk mendukung produsen, bisnis, dan komunitas lokal bersama pembicara dan koki pilihan.

Ubud Food Festival yang kedua digelar pada akhir Mei 2016. Acara ini berhasil memikat ribuan pengunjung baik lokal maupun mancanegara, dengan mendirikan lebih dari 50 stall makanan dan mengadakan workshop dengan mengundang pembicara profesional dan koki-koki yang menakjubkan dari luar maupun dalam negeri. Menilik keberhasilan UFF yang dinilai begitu memuaskan, ternyata ada kisah perjuangan mendirikan sebuah festival berskala internasional. Berawal dari Peristiwa Bom Bali I yang begitu menggemparkan dan menurunkan performa pariwisata di seluruh Bali, tidak terkecuali di Ubud. Setelah peristiwa memilukan tersebut, muda-mudi, orang tua, dan semua kalangan tak terkecuali di Ubud mulai menginginkan awal yang baru. Bermodalkan tekad untuk membangun kembali performa pariwisata Ubud yang sempat surut, para sukarelawan dan pelaku wisata di Ubud mendirikan Yayasan Mudra Swari Saraswati pada tahun 2004. Yayasan Mudra Swari Saraswati merupakan sebuah yayasan independen non-profit yang mengedepankan seni dan budaya sebagai bagian kekayaan yang dimiliki Indonesia. Yayasan ini memikirkan cara untuk meningkatkan pariwisata di Ubud, dan mendapatkan titik temu berupa penggelaran festival yang bertujuan untuk mempromosikan Ubud sebagai pusat kesenian dan budaya. Festival yang akan digelar setiap tahunnya adalah festival di bidang yang digemari semua orang yakni makanan, yang juga merupakan bagian pesona budaya Indonesia

“Kebetulan founder Yayasan Mudra Swari Saraswati, ibu Janet DeNeefe, merupakan seorang yang suka masak. Akhirnya kepikiran dan sepakat membuat Ubud Food Festival. Dengan adanya event ini, kami mau mengapresiasi kuliner indonesia,” ujar Herma selaku koordinator administrasi Ubud Food Festival.

Konsep Ubud Food Festival dikemas dengan apik dan tidak sekedar acara datang-makan-pulang seperti acara pada umumnya. Festival ini menggelar beberapa acara menarik diantaranya ada educative workshop yang diperuntukkan tidak hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak kecil, juga menyuguhkan demo memasak bersama para koki pilihan, lunch & dinner bersama chef undangan, cocktail party serta diskusi mendalam mengenai pangan bersama food professionals, dan ditutup oleh performa musik yang kebanyakan melantunkan lagu-lagu daerah. Hal ini dilakukan agar pengunjung yang datang selain menikmati hidangan dan hiburan juga mendapatkan nilai edukatif dari UFF.

“Ini festival pertamaku dan kebetulan sebagai panitia festival besar begini rasanya betul-betul pengalaman baru dan festivalnya gila keren banget. Ini festival makanan yang berbeda, banyak acara dan edukasinya. Menurutku satu kelebihannya adalah acara khusus anak-anaknya. Itu aku senang banget. Ada workshop anak-anak yang bekerja sama dengan Monsieur Spoon, yakni cafe pastry terbaik di Bali. Mereka mengadakan workshop membuat dan memanggang kue bagi anak-anak sebagai pesertanya.” ujar Yerikho dengan antusias, seorang panitia desain komunikasi visual Ubud Food Festival.

“Saya orang Ubud asli, dan saya senang sekali dengan adanya Ubud Food Festival. Ini acara yang bagus dan keren sekali, sebagai ajang memperkenalkan makanan yang ada di sekitar Ubud dan makanan daerah Indonesia lainnya kepada orang-orang, khususnya memberi pengalaman baru bagi para bule yang senang berada di Ubud.” tukas Krisna, seorang pengunjung yang merangkap sebagai pengisi panggung instrumental jamming di Ubud Food Festival.

Diadakannya event menarik seperti UFF diharapkan bisa membangkitkan performa pariwisata di Ubud dan memperkenalkan Ubud sebagai pusat kesenian dan budaya kepada turis lokal maupun mancanegara. Tidak lupa untuk menampilkan makanan Indonesia di panggung internasional dan mendiskusikan inovasi makanan Indonesia sebagai kekayaan potensial milik Indonesia. (Aurora)

Suka Duka Sebagai Mahasiswa Pekerja Part Time

 

Najma KOPI

I Made Nova Prayoga seeorang barista part time sedang melayani pesanan pelanggan. (Najma Ayu)

Badung – Mahasiswa pekerja part time, sudah tak asing lagi terdengar. Bekerja part time menjadi  pilihan bagi mahasiswa yang ingin menambah pengalaman dan tambahan uang jajan. Karena mayoritas perusahaan yang mencari pekerja part time tidak terikat waktu yang lama, berkisar 4 sampai 8 jam dan dalam jangka waktu kontrak terlama 1 tahun.

Mahasiswi Jurusan Sastra Inggris, Universitas Dhyanapura, Putu Tia Aprilia (23), sekaligus seorang Barista di salah satu coffee shop di Denpasar berpendapat bahwa tidak ada salahnya bekerja sambil kuliah.

“Usaha yang keras akan mendapatkan hasil yang memuaskan, bekerja juga dapat melatih diri untuk hidup mandiri serta menambah pengalaman,”ujar Putu Tia Aprilia.

Dalam seminggu Putu Tia Aprillia bisa bekerja 3 sampai 4 kali, dalam jam kerja 8 jam per shift. Dalam satu minggu Putu Tia Aprillia mendapat hari libur sebanyak 3 sampai 4 hari sesuai dengan jadwal kuliahnya. Begitulah alasan terbesarnya mengapa mengambil keputusan untuk bekerja part time, karena di tempat Putu Tia Aprillia bekerja sekarang, jadwal kerjanya dapat disesuaikan dengan jadwal kuliahnya, sehingga tak menganggu kuliahnya.

Lain halnya dengan I Made Nova Prayoga (24), mahasiswa Jurusan Manajemen Bisnis Pariwisaata STIMI  (SekolahTinggi Ilmu Manajemen Indonesia). I Made Nova Prayoga mengaku menunda kuliah selama 3 tahun untuk bekerja karena masalah keuangan dan kelangsungan kuliahnya.

“Kalau saya tidak bekerja bagaimana bisa makan dan bayar kuliah?, selama pekerjaan saya tidak menggangu kuliah saya kenapa tidak?” ujar I Made Nova Prayoga.

Berbeda dengan Putu Oka Perdana (24), atau yang akrab disapa Oka. Mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Udayana ini telah bekerja mulai sejak semester pertama hingga mendapat gelar sarjana. Uang dari hasil Oka bekerja digunakan untuk membayar uang kuliahnya dan sebagian lagi disisihkan untuk tabungannya di masa depan. Saat ini Oka telah bergelar Sarjana Sastra, kedudukan dalam pekerjaannya saat ini adalah supervisor. Lewat hasil jerih payahnya Oka telah memiliki rumah dan mobil pribadi.

“Kuliah sambil kerja menjadi tantangan tersendiri bagi saya, bekerja sambil kuliah telah mengajari saya untuk disiplin waktu dan melatih profesionalitas saya,” ujar Oka.

Oka memulai karirnya sebagai pekerja part time hingga saat ini menduduki posisi supervisor. Hanya membutuhkan waktu 3 tahun bagi Oka untuk naik keposisi jabatannya sekarang. Memang diakuinya berat tetapi Oka berprinsip segala sesuatu yang dilakukan semua ada prosesnya, ujar Putu Oka Perdana. (Najma Ayu)

 

Gelar Tradisi Tektekan, Desa Adat Kediri Ngerupuk Tanpa Ogoh-Ogoh

tektekan

Pementasan okokan (lonceng sapi raksasa) salah satu instrumen pokok yang dibawakan saat tradisi tektekan di Desa Adat Kediri, Tabanan. (Agung Suryadipta)

Tabanan – Hari pengerupukan  identik dengan pengarakan ogoh-ogoh di setiap desa di Bali, hal yang berbeda dapat ditemukan di Desa Adat Kediri, Tabanan. Di mana menjelang hari raya Nyepi, tepatnya dua minggu sebelum hari raya Nyepi, warga Desa Adat Kediri melakukan rangkaian tradisi yang disebut dengan tektekan, yaitu membunyikan instrumen-instrumen yang menghasilkan nada beraturan. Tradisi tektekan ini rutin dilaksanakan sejak  tahun 2013 oleh tujuh banjar adat yang ada di Desa Adat Kediri. Seluruh perwakilan banjar adat sepakat untuk tidak membuat ogoh-ogoh, melainkan membangkitkan tradisi sakral desa berupa tektekan.

“Kesepakatan untuk tidak membuat ogoh-ogoh timbul karena ogoh-ogoh yang muncul sekitar tahun 1980-an dianggap bukanlah tradisi yang diwarisi oleh masyarakat Desa Adat Kediri, namun tektekanlah yang merupakan tradisi sakral yang diwarisi di Desa Adat Kediri, yang siapapun tidak tahu sejak kapan munculnya,” terang A.A. Ngr. Gede Panji Wisnu (53), Bendesa Adat Kediri.

Menurut A.A. Ngr. Gede Panji Wisnu, Dahulu tektekan hanya dilakukan oleh masyarakat ketika terjadi grubug (bencana) seperti kematian yang berturut-turut. Namun seiring berjalannya waktu tektekan kini dijadikan tradisi yang sakral menjelang hari raya nyepi. Tradisi tektekan ini memiliki dua fungsi yaitu fungsi sekala dan fungsi niskala. Fungsi skalanya adalah sebagai ajang pemersatu masyarakat karena pada saat diadakannya tradisi ini semua lapisan masyarakat baik anak-anak, remaja, dewasa, laki-laki, perempuan semua turut serta dalam tradisi ini. Fungsi niskalanya adalah sebagai penangluk merana atau menolak bala yaitu mengusir aura negatif yang ada di desa.

Salah satu pengurus Banjar Panti, Desa Adat Kediri, A.A Ngr. Putra Raga Amitaba (46) menjelaskan, pelaksanaan tektekan tahun ini disepakati dimulai pada tanggal 23 Februari 2016 hingga hari pengerupukan yang jatuh pada tanggal 8 Maret 2016. Selama kurang lebih dua minggu, banjar-banjar adat membentuk kloter-kloter yang berjalan bergiliran sambil memainkan alat musik mereka mengelilingi desa. Kloter-kloter di masing-masing banjar tersebut terdiri dari anak-anak membawa kentongan, anggota PKK membawa bedug, dan laki-laki remaja dan dewasa membawa okokan (lonceng sapi raksasa) yang menjadi primadona di tradisi ini karena bunyinya yang khas.

“Penampilan tradisi tektekan ini tidak dilombakan, maupun tidak untuk kepentingan komersil, jadi masyarakat yang menilai kekompakan dari setiap banjar adat,” sambung A.A. Ngr. Putra Raga Amitaba.

Rute yang ditempuh adalah mengelilingi seluruh Desa Adat Kediri dan berhenti untuk tampil di setiap bale banjar yang dilewati. Namun pada puncak pelaksanaan tradisi tektekan ini yaitu pada hari pengerupukan, terdapat rute berbeda yang diambil kloter-kloter tersebut, yaitu tampil di depan Pura Puseh Kediri, kemudian melanjutkan berjalan untuk tampil di perempatan Jl. Bypass Ir. Soekarno, Kediri. Pada hari pengerupukan seluruh banjar adat menampilkan seluruh kreativitasnya dengan menambahkan tarian-tarian, dan juga atraksi atraksi modern.

“Tektekan ini sangat perlu untuk dilanjutkan karena dapat diikuti oleh berbagai kalangan usia dari anak-anak sampai dewasa, bila dibandingkan dengan ogoh-ogoh yang kebanyakan hanya melibatkan STT saja,” ujar Wayan Andika Putra (20), salah satu warga Banjar Panti, Desa Adat Kediri.

 (Agung Suryadipta)

 

Biopori, Si Lubang Kecil Penangkal Banjir

Via dan Mika

Lubang biopori yang terdapat di salah satu Sekolah Menengah Atas. (Mika Indah)

Tabanan – Banjir masih menjadi masalah serius yang terjadi khususnya di kota-kota besar. Buruknya sistem aliran air, tersumbatnya parit dan sungai, menjadi beberapa pemicu terjadinya banjir. Disaat beberapa daerah masih rentan banjir, ironisnya ada saja daerah yang mengalami kekeringan dan kesulitan dalam mendapat air bersih. Air begitu penting bagi kehidupan, nyatanya untuk mendapat air bersih beberapa orang masih harus merogoh kocek cukup dalam.

Begitu banyak cara diupayakan pemerintah untuk menanggulangi bencana seperti banjir dan kekeringan. Salah satunya dengan teknologi biopori.

“Lubang biopori adalah suatu lubang silindris yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan memanfaatkan aktivitas organisme bawah tanah atau akar tanaman yang akan membentuk pori-pori didalam tanah,” ungkap Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Tabanan, Ir. A.A.Ngr. Raka Içwara Wardhana, M.Si.

Lubang Resapan Biopori (LRB) diharapkan mampu membantu peresapan air masuk ke badan tanah sekaligus memberi sumbangan yang cukup positif untuk mengurangi air permukaan yang berpotensi menyebabkan banjir.

Berikut beberapa tips pembuatan lubang biopori:

  1. Pilih lokasi yang tepat dalam membuat LRB, usahakan pada dataran yang lebih rendah agar aliran air mengarah langsung ke lubang. Hindari membuat lubang pada daerah yang miring atau rawan longsor sehingga lubang tetap terjaga dan tidak tertimbun. Hindari pula terlalu dekat dengan mata air karena dikhawatirkan akan terjadi kontaminasi
  2. Setelah menentukan lokasi, sirami sekitar tempat yang akan dilubangi untuk memudahkan melakukan pengeboran pada tanah
  3. Gunakan bor khusus untuk membuat LRB. Letakkan mata bor tegak lurus diatas tanah, kemudian mulai pembuatan lubang. Lubangi tanah dengan menekan mata bor dan memutarnya ke arah kanan. Tambahkan air kedalam lubang untuk memudahkan pengeboran.
  4. Setiap kira-kira 15 cm atau sedalam mata bor, tarik mata bor sambil tetap diputar kearah kanan, kemudian bersihkan tanah yang ada pada mata bor menggunakan pisau atau cetok
  5. Lakukan langkah 3 dan 4 secara berulang hingga kurang lebih 100 cm kedalaman tanah atau sesuai kebutuhan. Kedalaman lubang dapat menyesuaikan dengan kondisi genangan air pada tempat dibuat. Semakin tinggi air, semakin dalam LBR
  6. Masukkan sampah organik kedalam lubang. Sampah organik yang terurai nantinya akan menjadi habitat bagi organisme dalam tanah seperti cacing dan sejenisnya. Organisme ini akan membentuk pori-pori dalam tanah untuk memudahkan proses peresapan air. Setelah beberapa waktu, sampah yang membusuk dapat diangkat dan dijadikan kompos, lalu masukkan lagi sampah organik baru kedalamnya
  7. Untuk menjaga lubang agar tidak terjadi longsor oleh timbunan tanah disekitarnya, masukkan pipa berdiameter seukuran lubang sepanjang 30-40 cm, hindari pipa terlalu panjang untuk memberi ruang pada organisme membentuk pori-pori dalam tanah
  8. Tutup lubang dengan jaring besi, kawat, atau sejenisnya untuk menjaga sampah lain masuk kedalam lubang
  9. Jika lubang dibuat disekitar area berpaping, pinggiran lubang juga dapat disemen agar terlihat lebih rapi

Melihat sekilas proses pembuatannya, begitu banyak manfaat dapat diperoleh dari lubang biopori. Selain menangkal banjir, lubang biopori juga dapat menjadi “tabungan” air tanah disaat musim kering tiba. Sampah organik yang membusuk dan terurai didalam tanahpun dapat diambil dan dijadikan kompos tanaman.

Beberapa daerah di Bali telah mulai menggencarkan teknologi ini. Tabanan menjadi salah satu yang aktif dalam menerapkan program LRB sejak tahun 2010.

“Saya harap nantinya kantor-kantor, sekolah-sekolah, dan areal yang memungkinkan untuk dibuat lubang biopori dapat menerapkan program ini.” ungkap Içwara Wardhana. Beliau juga menambahkan, pembuatan lubang biopori sangat perlu diterapkan untuk menampung cadangan air permanen, sehingga saat musim kering tidak terjadi kelangkaan air. Masyarakat pun berharap sosialisasi mengenai lubang biopori dapat lebih ditingkatkan, sehingga manfaatnya akan terasa lebih optimal di masa mendatang. (Mika Indah, Shelviani C.)