Pro Kontra Komodifikasi Budaya, “Duplikat” Jadi Jalan Keluar

PENTAS: Salah satu pementasan tari khas bali di Wantilan Puri Ubud, Gianyar yakni tari barong yang kini turut terjamah komodifikasi budaya dan menjadi tontonan menarik bagi para turis yang berwisata ke Bali. (24/05) (fir3)

      Semarapura – Jemari penari yang meliuk gemulai, seakan menjadi pesona bermagnet di pulau surga. Bak memanggil-manggil tetangga di seberang benua agar singgah. Ya, Bali menjadi pulau tersohor laksana artis yang naik daun dan pamor yang tak pernah surut. Kesempatan emas ini pun tak dilewatkan begitu saja oleh pemerintah Bali untuk meraup kocek. Bukan hal tabu lagi, untuk membuka “peluang kerja” di bidang budaya yang menggiurkan ini.

         Pasalnya, kesempatan cantik ini tak semulus penari legong. Perkembangan budaya yang mulai mengarah ke lingkaran komersial mendapat perhatian serius dari sosiolog Universitas Udayana, Wahyu Budi Nugroho. Ia mengakui sangat miris dengan kondisi komodifikasi budaya yang semakin marak.

       “Ketika sebuah budaya, baik itu berbentuk ritual ataupun artefak dikomodifikasikan atau dijual, maka jika semua itu dirasionalkan dan dikalkulasikan melalui untung rugi sehingga akan menyebabkan hilangnya pesona dunia,” tandas Wahyu.

    Ia mengungkapkan bahwa, kebudayaan dulu jauh berbeda dengan sekarang. dulu, tidak semua orang bisa menonton tari bali yang bersifat sakral. tapi yang terjadi sekarang, cukup memiliki uang 50 ribu, semua orang sudah bisa menikmati anggunnya tari bali. inilah akar penyebab hilangnya kesakralan sebuah budaya yang mengakibatkan hilangnya pesona dunia.

  Secara tersirat, Wahyu pun mengungkapkan kesepakatannya dengan sistem kebudayaan dulu. Menurutnya, justru dengan dibuat terlarang dan tak bisa dibeli melalui uang maka orang akan terus bertanya-tanya. Kemistisan itu akan tetap terjaga.

     “Kalau semua diobral dan dijual untuk pariwisata maka akan terjadi disakralisasi. Maka, apa yang terjadi saat ini harus segera mendapatkan jalan alternatif. Perkembangan pariwisata budaya seperti ini memang ibarat dua sisi mata uang,” tandasnya.

        Di sisi lain, Ida Bagus Gede Surya Peradantha selaku dosen di Institut Seni Indonesia Denpasar mengatakan bahwa sebagai masyarakat yang sudah terjamah era globalisasi tidak bisa membendung adanya percampuran budaya. Ia menuturkan sebagai masyarakat yang kaya budaya tidak boleh straight dengan perkembangan, karena itu artinya penyebab tidak bisa hidup dan berkembang dari waktu ke waktu.

       Sebagai pelakon yang berkecimpung di bidang seni dan budaya, Ida Bagus Surya tidak tinggal diam. Ia mengakui, bahwa komodifikasi budaya bukanlah soal baru. Seiring dengan perkembangan era, para pelaku seni dan budaya sudah merancang dan mencari jalan keluar untuk soal pelik ini.

       Ia menambahkan, orang bali sangat tegas jika terkait tentang kesakralan. Sakral yang berarti tidak boleh dipentaskan sembarang waktu, sembarang tempat dan sembarang orang. Akhirnya diambil jalan tengah yang menghasilkan tari Kecak duplikat. Tari Kecak yang biasa ditemui dan dipertontonkan ke turis-turis.

       Tari Kecak duplikat ini dibuat dengan mengambil sepenggal dari keutuhan tari Kecak originalnya. Yakni seperti tari Kecak yang disaksikan sekarang, hanya bagian kurnya saja tanpa Tari Sang Hyang. Selain itu, tari Kecak ini tidak melalui proses sakralisasi.

       Dengan pemahaman yang dalam, Ida Bagus Surya pun tidak mempermasalahkan soal komodifikasi budaya ini. Menurutnya, soal kesakralan dan budaya yang dikomersialkan jauh  berbeda yakni berbeda dari segi konsep dan prosesi. (jnt3)

 

Tinggalkan komentar